Palestine, Indonesia, Israel Flags |
Akhir-akhir ini ramai perbincangan tentang penolakan Israel di World U-20 2023 di Indonesia. Penolakan tersebut berasal dari MUI, Muhammadiyah, PKS, dan PDIP.
Dilansir dari muhammadiyah.or.id, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyarankan negara agar dapat bersikap konsisten sesuai amanat konstitusi UUD 1945.
“Baik sepak bola maupun urusan-urusan lain itu harus dalam satu kesatuan sistem dengan policy negara,” kata Haedar di Yogyakarta, Selasa (14/3/2023).
Haedar menambahkan masalah terjadi karena pihak lain tidak dapat menyesuaikan kebijakan dan konstitusi negara Indonesia yaitu menekankan anti imperialisme dan antikolonialisme.
“Sejauh negara itu masih punya kebijakan antiimperialisme, antikolonialisme, lalu tidak punya hubungan diplomatik dengan satu negara, yang lain itu harus menyesuaikan. Akibat tidak menyesuaikan, lalu terjadi masalah,” Haedar Nashir (14/3/2023).
Penolakan juga datang dari Gubernur Bali dan Gubernur Jawa Tengah, keduanya merupakan kepala daerah dari PDIP. Beberapa pihak menyayangkan penolakan tersebut. Mereka ketakutan jika Indonesia dibanned FIFA karena polemik ini. Selain itu muncul pula pernyataan "jangan ada politik di Sepakbola".
Sekilas Sejarah Sepakbola Tanah Air
Jika dilihat dari sejarah bangsa Indonesia, sebenarnya politik dan sepakbola tidak dapat dipisahkan. Perserikatan-perserikatan sepakbola yang lahir sebelum kemerdekaan tahun 1945 merupakan salah satu buktinya.
Bandoeng merupakan salah satu kota sepakbola di Hindia Belanda. Klub sepakbola pertama lahir 1990 yaitu Bandoeng Voetbal Club (BVC). Tiga tahun kemudian lahir dua klub yaitu Bandoengsche Sport Vereniging Uitspanning Na Inspanning (POR UNI) dan Sport in de Open Lucht is Gezond (SIDOLIG).
Kelahiran tiga klub tersebut diikuti klub-klub sepakbola baru di Bandoeng, mereka adalah Laat U Niet Overwinnen (Luno), perkumpulan sepakbola militer Velocitas (Cimahi), Sparta, Luchtvaart Afdeeling (LA), Saats Spoor (SS), Yong Men's Combination (YMC, Tionghoa), Opleidingschool voor Inlandsche Ambetenaren (OSVIA, pribumi).
Seluruh klub tersebut berkompetisi di bawah federasi sepakbola milik pemerintah kolonial Belanda yang disebut dengan Bandoengsche Voetbal Bond (BVB) dimulai pada tahun 1914. Kompetisi tersebut diadakan di alun-alun Kota Bandung dengan diikuti rata-rata pemain dari orang-orang Hindia Belanda dan kaum bangsawan. Dapat dikatakan kompetisi ini tidak dapat diikuti oleh pribumi atau rakyat biasa.
Sungguh nampak jelas politik memainkan peran di sepakbola saat itu. Kaum Nasionalis dan Pribumi membuat perserikatan sepakbola dengan nama Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) pada tahun 1923 agar pribumi dapat bermain sepakbola.
BIVB didirikan oleh kelompok pergerakan nasionalis yang dipimpin MR Syamsudin. Kepemimpinan BIVB kemudian dilanjutkan oleh R. Atot (putra Dewi Sartika) karena MR Syamsudin studi di Rechts Hooge School (RHS) Batavia.
Dua tokoh tersebut yang mewakili BIVB pendirian Persatuan Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) kemudian berubah nama menjadi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta. Tiga tahun kemudian lahirlah Persib Bandung pada 14 Maret 1933.
PSSI ada Karena Pergerakan Politik
Orang-orang yang menggemakan "jangan ada politik di sepakbola" tidak paham sejarah pergerakan dan perpolitikan bangsa Indonesia. Mereka beralasan kasihan pemain timnas U-20 sudah berlatih dan berjuang tapi tidak bisa tampil di World Cup U-20 2023. Padahal PSSI lahir dari rahim pergerakan dan perjuangan kaum pribumi yang menentang kolonialisme dan imperialisme. Tanpa adanya pergerakan politik PSSI tidak akan ada di Indonesia.
Standar Ganda FIFA
Penolakan timnas Israel bermain di World Cup U-20 2023 karena FIFA menerapkan standar ganda. Di World Cup Qatar 2022, Rusia dilarang tampil karena invasi ke Ukraina. Namun pada World Cup U-20 2023 Israel dapat bermain padahal Israel bukan sekedar invasi Palestina melainkan kolonialisme dan imperialisme.
Polemik pro dan kontra memang wajar terjadi di dunia demokrasi. Namun setiap pernyataan yang keluar sebaiknya didasarkan pada prinsip keadilan dan kemanusiaan. Karena masalah Palestina bukan sekedar masalah agama melainkan masalah kemanusiaan dan ketidakadilan.