"No action, talk only!" Itulah ungkapan yang cocok dengan peran Kartini yang diklaim sebagai pahlawan nasional emansipasi wanita. Simbol perjuangan wanita bukan sekedar Kartini yang hanya menulis surat tanpa aksi nyata.
Peran Kartini tidaklah sebanding dengan perjuangan pahlawan Aceh Tjut Nyak Dhien memimpin perang mengangkat senjata melawan penjajah. Selain itu masih dari tanah rencong, dikenal Raja Wanita Aceh yang bernama Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat berjaya menghentikan upaya VOC memonopoli perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memimpin cukup lama yaitu tahun 1644-1675 dan berhasil memajukan pendidikan di Aceh baik untuk pria maupun untuk wanita.
Di tanah Pasundan, ada Dewi Sartika yang sukses mendirikan sekolah khusus wanita yang diberi nama Sakola Kautamaan Istri (1910). Sampai saat ini sekolah ini tetap berdiri dengan nama Sekolah Dewi Sartika tempatnya yaitu di Kota Bandung dan sudah memiliki cabang di Purwakarta, Tasikmalaya, dan Garut.
Kembali ke Kartini, seorang Guru Besar UI menulis artikel yang mengkritisi "pengkultusan" Kartini sebagai tokoh sentral emansipasi wanita. Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Prof. Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”.
Harsja mengatakan ada peran penjajah Belanda di balik penokohan Kartini:
“Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” Harsja W. Bachtiar.
Berdasarkan penelitian Prof. Harsja W. Bachtiar, Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Berawal dari Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink, Cristian Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
“Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Kemudian Kartini bertemu dengan Estella Zeehandelaar, seorang aktivis feminis yang mengenalkan Kartini ide-ide modern tentang perjuangan wanita dan sosialisme.
Kartini wafat pada usia 25 tahun, enam tahun berselang tepatnya tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).