Beberapa kengerian, kebiadaban Zionis mulai terungkap satu persatu bahkan foto-foto evakuasinya cepat menyebar keberbagai belahan dunia.
Penemuan 300-400an mayat dari anak-anak, perawat dan rakyat lain menyebar ke seluruh dunia dan menyisakan luka mendalam bagi rakyat global.
Akibatnya, berbagai macam demonstrasi mulai mencuat di berbagai belahan dunia. Tidak tanggung-tanggung mereka yang turun tangan bukan orang sembarang orang, melainkan mahasiswa-mahasiswi dari Perguruan tinggi ternama di dunia.
Beberapa pengajarnya pun tidak ketinggalan, mereka berupaya menyuarakan freedom for Palestine. Bahkan mereka sempat terlihat juga menjadi tameng yang melindungi para mahasiswa yang sedang melakukan aksi.
Akak tetapi selain yang kontra mulai bermunculan, dalam berbagai media, terutama media mainstream, masih saja kita melihat adanya ketidaksesuaian atau bisa jadi media tersebut memanipulasi para pembaca.
Mereka yang sebenarnya bisa menjadi pionir kekuatan di era digital ini malah menjadi alat semu yang mudah di setir oleh pihak tertentu. Mereka berusaha menyembunyikan hal yang mengerikan dengan eufemisme semu.
Bahasa sangat erat dengan kuasa. Ia bisa menjadi faktor dominan yang mempengaruhi persepsi masyarakat. Misal saja harian besar The New York Times. Mereka, yang sebenarnya suka menyuarakan freedom of speech, tak lain hanya budak Zionis Israel.
Mereka, dengan sengaja, memilah dan lebih menggunakan istilah Gaza atau Hamas ketimbang menyebut rakyat Palestina.
Hal tersebut sangat clear, mereka bagian dari Zionis. Peran mereka mencuci otak masyarakat agar tidak terlalu berlebihan menanggapi penjajahan Zionis di Palestina.
Seakan ingin mempertegas, NewYork Times tidak pernah menyinggung soal pembantaian. Karena, bagi mereka yang ada hanya Israel vs Hamas di Gaza bukan pembantaian rakyat Palestina.
Bagi kita mungkin tidak ada harapan untuk membaca berapa korban dari rakyat Palestina di harian NewYork Times tersebut.
Di Israel Muncul Perlawanan, Begitu Pula Medianya
Aksi demonstrasi menentang aksi pembantaian rakyat Palestina ternyata tidak datang dari negara jauh. Di Israel sendiri, rakyat yang anti pemerintahan, mulai menyuarakan ketidaknyamanannya atas prilaku pemimpin Zionis.
Mereka lebih memilih menggunakan istilah "Crime Minister" ketimbang Prime Minister. Salah satu keinginan pendemo juga menyuarakan agar Netanyahu diturunkan. Sampai saat ini mereka masih melakukan aksi-aksi demonstrasi tersebut.
Ada juga yang konsisten menentang Zionis dari komunitas Jews. Yang terakhir ini justru selalu menyuarakan kemerdekaan rakyat Palestina atau Free Palestine dan selalu mengatakan bahwa "Jews Against Zionism".
"Israel is not Jewish State. Zionism is not Judaism. jews United Against Zionism."
Aksi ini ibarat menegaskan kembali bahwa Zionis itu adalah Ideologi Politik. Di dalamnya banyak yang berkepentingan, tidak mungkin berdiri sendiri. Kenyataannya saat ini yang menjadi sekutu Israel, mereka juga yang pada tahun 1940an sangat berperan penting dalam pencaplokan Palestina.
Selain dari kalangan masyarakat, dalam beberapa hal, media di Israel juga terkadang bersikap kritis terhadap konflik yang terjadi saat ini di Palestina. Salah satunya adalah Haaretz.
Haaretz dalam beberapa pemberitaannya masih menggunakan kata "Palestinian" ketimbang Gaza atau Hamas. Selain itu Haaretz sangat frontal dalam mengkritisi pemerintahan Israel, salah satunya dalam pemberitaan tahanan.
Haaretz mengkritisi pemerintahan Israel yang memperlakukan tahanan Palestina secara tidak manusiawi. Mereka bahkan berani menggunakan kata-kata jujur "Pemukulan, Sexual Abuse dan Penyiksaan". Hal-hal seperti ini mungkin jarang, meski ada, ditemukan pada media mainstream besar dunia.
Sikap jujur seperti ini, mulai dari rakyat yang anti pemerintahan dan media yang terang-terangan mengkritisi, menjadi penawar sakit melihat situasi mengerikan di Palestina. Kebebasan harus terus diperjuangkan, meski harus dari bahasa.