Tajdid sebagaimana disebutkan dalam Pedoman Hidup Warga Muhammadiyah adalah pembaharuan yang berorientasi kepada masa depan atau progresif, bukan konservatif maupun yang kembali ke masa lalu.

Namun demikian, sikap progresif dan konservatif yang melekat pada kelompok-kelompok Islam menurut Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Tafsir, keduanya bukan alat ukur menentukan mana yang benar atau salah.

“Bukan berarti yang konservatif salah, bukan. Tapi bukan stayle Muhammadiyah, karena style Muhammadiyah adalah berorientasi ke masa depan, kembali ke Qur’an – Hadits. Tetapi bagaimana Qur’an – Hadis dipahami secara interpretatif sesuai dengan konteks zaman,” ucapnya.

Terkait dengan itu, Muhammadiyah memahami Al Qur’an dan Hadist melalui tiga pendekatan yakni bayani (teks), burhani (konteks), dan irfani (aspek rasa). Corak berpikir progresif, imbuh Tafsir, merupakan style yang identik dengan Warga Muhammadiyah. 

Meski Muhammadiyah berprinsip kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah, akan tetapi menurutnya bukan asal kembali namun kembali kembali dan kemudian diinterpretasi dengan konteks zaman.

“Lalu dalam hal ini Muhammadiyah berbeda, mohon maaf, dengan teman-teman Salafi misalnya,” tuturnya.

Tafsir menjelaskan, perbedaan yang mudah ditemukan antara Muhammadiyah dengan Salafi adalah jika Tajdid Muhammadiyah berorientasi ke masa depan, maka Tajdid Salafi adalah menghidupkan masa lalu dan dibawa ke masa sekarang.

“Karena Muhammadiyah sudah menyatakan diri kembali Qur’an – Sunnah tapi dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Maka Muhammadiyah menerima IPTEK sebagai instrumen memahami Qur’an dan Sunnah,” imbuhnya.

Hal ini yang kemudian menjadikan Muhammadiyah bisa menentukan waktu-waktu penting bagi Umat Islam, seperti penetapan 1 Ramadan, 1 Syawal, 1 Dzulhijjah, 9 Dzulhijjah, dan 10 Dzulhijjah. Namun demikian terkait dengan perbedaan penetapan waktu-waktu tersebut, Warga Muhammadiyah tidak boleh menyalahkan yang berbeda.

Menurutnya, terkait dengan hasil atau produk fikih yang merupakan hasil pemikiran ulama tidak boleh digunakan sebagai alat untuk saling menyalahkan yang lain.

“Fikih suatu produk ulama tidak untuk menyalahkan produk ulama yang lain. Maka keputusan Muhammadiyah tidak boleh menyalahkan keputusan yang lain,” sambungnya.

Tafsir menekankan, bahwa produk fikih ulama bukan alat untuk menyalakan melainkan untuk dipedomani bagi kelompoknya dan siapa saja yang sepakat dengan keputusan itu. “Tetapi ketika ada perbedaan penafsiran ini kita tidak boleh menghindari penafsiran dalam etika berpikir,” imbuhnya.

Sumber: muhammadiyah.or.id