Pemerintah akhir-akhir ini mengeluarkan regulasi yang menimbulkan polemik di masyarakat. Menjelang lengsernya bulan Oktober nanti, Presiden Jokowi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur sistem kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah dan remaja.

Polemik itu bermula pada Pasal 103 Ayat 1 yang mengungkapkan bahwa upaya kesehatan yang berkaitan dengan sistem reproduksi bagi siswa dan remaja setidaknya harus mencakup pemberian komunikasi, informasi, pendidikan, serta pelayanan kesehatan reproduksi.

Polemik selanjutnya yaitu Ayat 4 yang menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi untuk siswa dan remaja paling tidak harus mencakup deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling, serta penyediaan alat kontrasepsi.

PP tersebut rentan disalahgunakan untuk melegalkan seks bebas. Sebelum adanya PP tersebut perilaku seks bebas sudah sangat memprihatinkan, lalu apa jadinya jika PP tersebut sudah disahkan?

Menurut data tahun 2022, jumlah remaja berusia 10-24 tahun mencapai 65 juta, yang merupakan 30% dari keseluruhan populasi. Di samping itu, sekitar 15-20% remaja/anak usia sekolah di Indonesia telah terlibat dalam hubungan seksual di luar nikah.

Implementasi pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual di Indonesia perlu berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila serta prinsip-prinsip agama. Penyediaan kontrasepsi bagi pelajar dan remaja dapat berpotensi menimbulkan pemahaman yang keliru mengenai seksualitas di antara mereka.

Dengan adanya akses langsung terhadap alat kontrasepsi, ada kemungkinan remaja akan melihat seksualitas sebagai hal yang hanya dapat diatasi dengan cara teknis, tanpa memperhitungkan aspek emosional, moral, dan sosial yang krusial.

Dampak dari peraturan pemerintah ini berpotensi untuk mendorong pandangan bahwa hubungan seksual di usia muda dianggap wajar, asalkan dilakukan dengan menggunakan kontrasepsi, tanpa cukup menekankan risiko dan akibat jangka panjang dari perilaku seksual prematur.