mudapembaharu.com - Bila berbicara tentang abad pertengahan di Indonesia, atau kerap kali dalam karya ilmiah dikenal dengan tag "Medieval Indo", selalu ada hal yang menarik untuk dibahas. 

Penulis kira itu hal yang wajar, mengingat bahwa kepulauan nusantara pernah menjadi magnet dunia yang bisa dikatakan cukup lama. 

Meski telah banyak yang menulisnya akan tetapi tidak menutup kemungkinan masih ada lembaran atau informasi sejarah yang belum terungkapkan.

Khususnya ketika membahas zaman rempah atau spices age. Satu periode dimana kepulauan di nusantara pernah menjadi titik sentral bertemunya para pelaut-pelaut handal yang mempunyai satu tujuan yang sama, yakni rempah-rempah.

Apalagi semenjak perjanjian Tordesilas diresmikan, pada akhir abad 15, khususnya jalur perairan selatan, mulai ramai. 

Ditambah dengan penemuan cape of god hope atau tanjung harapan, hal itu membuka babak baru geopolitik dunia. Pelaut barat tidak harus bertemu Ottoman dengan kekuasaannya yang berada di zona utara.

Adalah orang Portugis yang mengawali pelayaran ke wilayah jauh timur ini (Far East). Bahkan orang-orang Portugis inilah yang menjadi bangsa Eropa pertama yang berlayar, sekaligus menginjakan kaki, di Indonesia, disusul oleh Spanyol, Belanda, Inggris dll.

Dalam tulisan yang singkat ini, penulis hanya ingin membahas bagaimana Portugis pada waktu itu bisa kehilangan otoritas kekuasaannya di Sunda Kelapa dan Banten. Adapun sumber-sumber yang digunakan pada tulisan ini adalah dari tulisan Tome Pires, Suma Oriental dan beberapa buku dari L. De Lima dll.

Salah Satunya Portugis Mempunyai 2 Sekutu di Pulau Jawa 

Sebelum berlayar ke Pulau Jawa, sebenarnya, Portugis telah menjangkau beberapa wilayah. Bahkan mereka mempunyai otoritas dibeberapa tempat. Pulau pertama yang mereka kuasai adalah Sumatra, tepatnya di Malaka tahun 1511.

Portugis menang banyak karena wilayah yang mereka pertama kuasai merupakan tempat strategis, salah satu pelabuhan besar dimana para pedagang nusantara, bahkan seluruh dunia, bertemu satu sama lain.

Dari kemenangan itu, maka tidak menutup kemungkinan banyak interaksi yang mereka dapat di Malaka, khususnya informasi mengenai rempah-rempah, komoditi utama yang mereka cari pada waktu itu.

Oleh karena itu, Alfonso de albuquerque mengutus salah satu pelaut sekaligus kapten handalnya yang dalam historiografi sejarah dikenal dengan nama Antonio de Abreu dan koleganya Francisco Serrao. Kelak dari tangan mereka inilah pelayaran ke far east, wilayah jauh timur Nusantara dimulai. Sebelum akhirnya termasuk juga singgah di Pulau Jawa.

Dalam catatan sejarah, khususnya abad-abad pertama kedatangan bangsa Eropa, disebutkan bahwa orang Portugis adalah orang pertama yang menginjakan kaki di Jawa Timur pada tahun 1511 sebelum mereka melanjutkan kembali perjalanannya ke Sulawesi.

Selang beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1522 Portugis kembali lagi ke pulau Jawa dan mengunjungi salah satu wilayah penting jalur perdagangan, Sunda Kelapa.

Dalam tulisan Tome Pires, Suma Orientalnya, pelabuhan Sunda Kelapa juga merupakan pelabuhan yang megah dan sangat penting. Banyak para pelaut, dari berbagai wilayah seperti Sumatra, Palembang, Lawe, Tanjungpura, Malaka, Makasar bertemu. (lihat Suma Oriental hal: 172)

Kedatangan Enrique Leme, sebagai kapten kapal waktu itu, bukan tanpa alasan. Karena di tahun sebelumnya pernah ada permintaan dari Kerajaan Pajajaran yang ingin mengadakan kerjasama dagang dengan Portugis.

Pelabuhan Sunda Kelapa, saat itu, masih menjadi bagian dari kerajaan Pajajaran, dimana pusat pemerintahanya berada di Dayo, sekitar dua jam dari pelabuhan Sunda Kelapa atau saat ini adalah terletak di Bogor. 

Terjadi perbedaan pendapat terkait permasalahan ini. Dari perbedaan tersebut kerap muncul pertanyaan terkait dengan apakah Portugis pada waktu itu membuat kerjasama dengan Banten atau kerajaan Pajajaran?

Namun, kembali lagi keatas, bila melihat peta situasi politik saat itu, perjanjian kerjasama tersebut lebih condong pantas dilakukan oleh Kerajaan Pajajaran yang pada waktu itu tengah berseteru dengan Kesultanan Demak.

Apalagi banyak jalur-jalur strategis pelayaran memang dikuasai oleh Demak, termasuk Demak juga sudah menjalin kerjasama dengan Cirebon. Hal itu membuat gusar kerajaan Pajajaran yang sebelumnya selalu berseteru dengan Demak.

Bukti-bukti lain yang menguatkan kerajaan Pajajaran sebagai pemohon pun terdapat dalam naskah Nagara Krethabumi dan juga dari arsip berbahasa Portugis yang bisa dilihat pada gambar bawah:

Sebuah arsip sejarah yang ditulis oleh L. de Lima pada tahun 1526 disebutkan bahwa ketika Portugis tiba di Jawa, mereka mempunyai dua sekutu: di barat ada Sunda (Sunda kelapa dengan kerajaan Pajajarannya) dan di timur ada Panarukan, dengan kerajaan Blambangannya.

Akhir Otoritas Portugis, Dua Kubu Menjadi Momok Menakutkan

Kerjasama yang dijalin, ditandai juga dengan peletakan Padrao, antara Pajajaran dengan Portugis ternyata menimbulkan kemarahan pada kesultanan Demak, Sultan Trenggana (Pate Rodim).

Dengan adanya fakta kerjasama tersebut ibarat menjadi penghalang Demak yang pada waktu itu tengah berperang melawan Portugis di Malaka. Maka jalan satu-satunya untuk menghilangkan duri tersebut adalah dengan mengusirnya.

Sebelum melakukan aksi penyerangan, strategi yang dilakukan Demak pada waktu itu, salah satunya membuat strategi dengan Cirebon yang tokoh sentralnya adalah Fadilah Khan atau Fatahillah.

Setelah menjalin dan membuat rencana, maka ditetapkanlah bahwa tahun 1527 yang akan dijadikan momen penyerangan tersebut.

Karena satu dan lain hal, posisi Portugis yang memang masih tidak sekuat di Malaka, menjadi hal yang menguntungkan bagi Demak. Apalagi pada tahun-tahun tersebut kesibukan Portugis terbagi dua, antara di Goa dan di Sunda Kelapa.

Sementara dipihak Cirebon dan Demak, terdapat persiapan penuh, dengan mengerahkan hampir 1000 lebih pasukan terlatih dan dibekali juga dengan meriam kiriman dari Demak.

Alhasil pihak Portugis pada akhirnya mengalami kekalahan pertamanya di wilayah Jawa, khususnya di Jawa Barat. 

Dengan demikian, Sunda Kelapa sebagai pintu gerbang jalur perdagangan internasional jatuh kepada Fadilah Khan pada tanggal 22 Juni 1527. Di sisi lain, Kerajaan Pajajaranpun kehilangan salah satu pelabuhan pentingnya yakni Sunda Kelapa.

VOC Mempertegas Melemahnya Otoritas Portugis dibagian Jawa Barat, Banten

Kekalahan yang dialami oleh Portugis di Sunda Kelapa itu bukanlah akhir segalanya. Karena sebenarnya badai besar yang akan mengancam sekaligus menghapus kedaulatan mereka di Nusantara baru akan datang di fase awal abad 17.

Bersambung..